Kamis, 10 Februari 2011

Helping Children and Their Parents’s Healthy

Posted by contemplative on 01.05 0 komentar


We were given a task to cover the launch of a new dental examination program on Sunday January 30, 2011. The program was offered free of charge to all.

We found that during the examinations the dentist did much more than simply pull teeth and fill cavities. At the introduction to the free examination day, he explained how to properly care for teeth. To the program participants, about 200 children and their parents he explained the correct way to brush teeth, so that the teeth and gums stay clean and healthy.

This dental program sponsored in part by Mr. Amin , and held at his home, which had a large yard able to accommodate so many. During our time at the seminar, we were able to interview several children. One child, Abi (Abby), said to us

"This dental examination is very nice for me to fix my teeth problems".
 

“ What are is your teeth problems Abi? ", we asked.

She responded “My tooth nearly fell
out during the exam , and finally the tooth was pulled out" 

We next interviewed Jemer, who had a much different experience than Abi.

“Did you cry when you had your tooth pulled?” we asked him.
 

"Yes, I cried when my teeth were removed by the doctor" Jemer said. “But now my mouth doesn’t hurt like before.”

Ina was the next patient we were able to speak with. 

“Ina, what did the dentist do for you and your teeth?” we asked.

''He filled by bad teeth with silver, and told me that I should not be eat foods that are very sweet or spicy,

or too cold. He said I should be very diligent about brushing my teeth two times every day.''

We met with many others as well, who shared similar good experiences. The program appeared to be
a great success, and was able to help many children.

(Reporter: Sri anjani & Putri Aulia. Photografi: Candra Saputra)









Continue...


Jumat, 05 November 2010

Share: Mengajar Anak Menahan Keinginan Dengan Menabung

Posted by contemplative on 18.04 0 komentar

Ide ini muncul ketika saya sudah mulai kerepotan untuk melakukan negosiasi dengan si kecil ketika suatu hari dia minta dibelikan mainan. Negosiasi yang dilakukan tidak membuat Damar mampu mengurungkan keinginannya untuk membawa mobil – mobilan itu pulang, tetapi membuat Damar mengeluarkan senjata andalannya yaitu menangis.

Pikir punya pikir, akhirnya munculah ide untuk mengajari Damar menabung. Discuss dengan sang Papa pun dilakukan untuk menyusun langkah – langkah selanjutnya ( hehe seperti mikir strategi perang aja yah ). Tinggal menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan ide itu. Bersabar….

Suatu hari, Hp saya berbunyi dan ternyata telpon dari Damar yang meminta saya untuk memberikan dia hadiah karena dia sudah berhasil meniti ( berjalan di atas bambu kecil ). Humm, saya ok-kan permintaannya dan berjanji akan mengajak dia membeli hadiah tersebut sepulang kerja.

Pulang kerja, kami bertiga meluncur ke sebuah toko mainan di kota. Tiba di sana, Damar segera memilih ‘hadiah’ yang dia minta. Pilih sana pilih sini, akhirnya pilihan dia jatuh ke mobil – mobilan yang dijalankan dengan pengungkit di salah satu ujung jalannya.

“Ade ingin hadiah ini? “ saya bertanya kepada Damar dan segera dijawab dengan anggukan kepalanya.

“Coba kita lihat harganya dulu yuk, De. Mama khawatir uang Mama gak cukup untuk membelinya. “

Kemudian kami sama – sama melihat price yang ada di balik dus mainan itu.

“Harganya Lima puluh ribu, De. Mama hanya punya uang Dua puluh ribu, berarti masih kurang tiga puluh ribu. Gimana ya De ?” , sambil pura – pura kebingungan saya bertanya kepada si kecil.

“Eh Ma, coba minta Papa, Ma. Mungkin Papa punya uang, Ma” , kata Damar sambil memandang Papa nya.

Papa membuka dompet kemudian berkata “Yah Papa juga sama seperti Mama, hanya punya uang dua puluh ribu. Kalau digabungin sama punya Mama, berarti masih kurang sepuluh ribu, De. Masih belum cukup untuk membeli mobil- mobilan itu. Gimana donk ?”

Hening sejenak.

“Eh gini aja De. Kita nabung dulu yuk, kita kumpulin uang dulu aja. Nanti Mama kasih Ade uang untuk ditabung tiap hari, uangnya nanti dimasukin ke celengan yang waktu itu kita beli itu lho. Nanti kalau uangnya sudah cukup, kita kembali lagi ke sini. Ok ?” , saya memandang Damar dengan berharap.

“Tapi Damar ingin beli mainan ini, Ma “, kata Damar dengan wajah memelas.

Dengan menguatkan hati untuk tidak bersimpatik pada si kecil, saya berkata ,” Iya, Mama tahu kalau Damar ingin membeli mobil itu. Tapi uang kita kan tidak cukup, sayang. Kita nabung dulu aja ya, Mama janji deh nanti kalau uangnya sudah cukup, kita akan kembali ke sini lagi.”

“Mama janji ya nanti kalau uangnya sudah cukup, Damar beli mainan itu” , kata Damar masih dengan wajah cemberut.

“Iya, Mama janji. Yuk kita janji ( sambil mengaitkan kelingking ku dengan kelingking Damar). Sekarang ayo kita pulang. Lets Go…”

Puji Tuhan, akhirnya berhasil juga. Satu langkah terlewati. Saya dan Papa saling memandang dan melempar senyum.

Esok paginya, saya beri uang seribu rupiah ke Damar untuk dimasukkan ke celengan. Hari pertama dan hari kedua, tidak ada pertanyaan dari Damar. Hari ketiga ketika Damar memasukkan uang tersebut ke celengan, Damar bertanya “uangnya sudah cukup belum ya Ma ?”

“Humm coba kita hitung dulu yuk..” , kataku sambil mengeluarkan uang yang ada dalam celengan.

“Seribu, dua ribu, tiga ribu …baru ada tiga ribu, De. Coba Ade hitung , kalau Ade perlu uang sepuluh dan Ade sekarang punya uang tiga, berarti Ade masih kurang uang berapa lagi supaya dapat sepuluh “.

“ade punya uang sepuluh ya Ma ( sambil menunjukkan kesepuluh jarinya ), terus Ade baru punya uang tiga. Berarti dikurangi tiga ya Ma jarinya ? “

“Iya , betul. Coba sekarang Ade hitung, berarti masih harus kumpulin uang berapa lagi ?”

“satu, dua, tiga, empat,lima, enam, tujuh ( sambil menghitung jari yang masih tegak setelah tiga jari dilipat ). Tujuh, Ma…”

“Iya, berarti Ade masih harus kumpulin 7 lembar uang seribuan lagi. Baru deh kita beli mainan itu. “

Setiap hari, Damar tidak bosannya bertanya dan menghitung jumlah uang yang terkumpul. Hingga tiba hari ke sepuluh, Damar menagih janjinya untuk membeli mainan yang dijanjikan. Jadilah sepulang kerja, kami bertiga pergi ke toko mainan itu lagi. Setiba di sana, Damar langsung mengambil mobil – mobilan itu dan dengan yakin memberikannya kepada saya.

“Ayo, Ma. Sekarang kita bayar mainan ini.”

“Ok “, kataku sambil berjalan menuju kasir.

Dalam perjalanan pulang, saya bertanya kepada Damar “ Damar sekarang sudah tahu kan manfaat dari menabung. Besok Damar menabung lagi ya, jadi kalau nanti Ade ingin beli mainan atau beli apa saja, Damar bisa ambil dari uang tabungan itu. Juga kalau misalnya uang Mama gak cukup seperti kemarin, Ade bisa ambil kekurangannya dari uang tabungan itu. Damar masih mau menabung gak besok ?”

“Masih, Ma. Damar masih mau menabung kok, nanti kalau uangnya sudah cukup kita beli laptop – laptopan yang tadi ya Ma”. (Martha Liumei – Temanggung) - (Sahabat Sanggar Rebung Cendani).
Continue...


Jumat, 29 Oktober 2010

New Best Friends — FIB UI (China’s Literature)

Posted by contemplative on 00.06 0 komentar

A few friends from FIB UI — China’s Literature are Sanggar Rebung’s guests in amonth ago. Vera who’s represented their friends from her level gave some contributions for Sanggar Rebung Cendani. She promised that she and her friends will contact their friends to participate in educational process for children in Sanggar Rebung
Continue...


Kamis, 28 Oktober 2010

I Want to Study in UI (University of Indonesia)!

Posted by contemplative on 23.55 0 komentar

“Wow, this school is very big. I want to study in here!” Chandra and Kiki scream happily as they walk inside some areas in University of Indonesia, Depok, Mei 28th in 2010. Accompanied by some student from
some faculty of University of Indonesia, MIPA (faculty of mathematics and science) and FIB (culture), those two kids walk around the campus that has a large and beautiful area. First, they visit the park that is located near a river and inscribed with words which said Universitas Indonesia. This park can be seen from Margonda Street that’s head for Pasar Minggu. In this place, Chandra and Kiki are not really realized what kind of place is University of Indonesia. They are just jump around and tease each other. But, as they move to another place, their eyes open. For example, in FakultasIlmu Budaya (faculty of culture), they are very excited when
they see artificial temple. Then, they are also very enthusiastic with Texas Bridge. The name of this bridge
come from the existence of faculty of culture at one side(sastra) and faculty of science at the other side
(teknik). Seemly, at this red andartistic bridge, Kiki and Chandra’s enthusiasm are much bigger to
study in UI, just like throwing their dreams to the air, between the wind and the beautiful view.
“Yes, I want to study in here. I promise to study hard and read books all the times.” Everyone laugh as they hear those words. After visit Texas Bridge, they go to the lake. Unfortunately, in one side, that lake had
covered with so much garbage since the lake is being visited with so many people especially in Monday
and days of time off. Of course, that condition ruin the view. Fortunately, Chandra and Kiki’s dreams
are not withdraw after seeing that bad situation. As the way back to home, they kept mention their dreams to study in UI. So enthusiastic. It can be seen from their faces and their steps. If a few years ago, Daru had a
dream to study in STM Grafika (a high school that has specialized in graph) and can make his own dream come true, it’s also not impossible for Kiki and Chandra’s dreams. Hopefully, their dreams will come true, too. Nothing is impossible, isn’t it?
Continue...


Roasted Chicken for Smart & Nature Lover Kids Writing Club

Posted by contemplative on 23.39 0 komentar


“Put, lets talk about it first!” Then, immediately, some children run to the other house, where Sanggar Rebung puts books, and for a few second they already talk about
something seriously. Oh… it appears that they are talking about some plans for SMART & NATURE LOVER KIDS WRITING CLUB, a group of writing club which ran since
a few months ago. One of their plan is to collect money from their everyday’s
money that they accept from their parents. With those money, they are going to buy some t-shirts which they can put the logo of this writing club. For your information, the logo and the name of this writing club was created by themselves at
Mei 23rd in a year of 2010. Since that time, their spirits are growing. Not just about t-shirt, the children also talked about choosing their friends to be a chairman, a vice of chairman, a secretary, a treasurer, and a member. Along with that idea, here are the structure of the writing club.
  1. CHAIRMAN: Chandra Saputra (3rd of elementary school)
  2. VICE OF CHAIRMAN: Rizki Fadilah (5th of elementary school)
  3. SECRETARY: Sri Anjani Pramono (4th of elementary school)
  4. TREASURER: Putri Camelia (4th of elementary school
MEMBERS:
  • Iis Nurjanah (3rd of elementary school)
  • Putri Aulia Nabita (3rd of elementary school)
  • Muhammad Apri (2nd of elementary school)
  • Nurul Fadlah (4th of elementary school)
  • Irma (3rd of elementary school)
Every days, the children that join with this writing club are more solid. At the night of June 5th in 2010, they make a roasted chicken in the house of one of them. “Mmm… for celebrate the club,” said Kki alias
Rizki. They bought the chicken, again, from their money. This idea come from themselves.
Seemly, every children have some dreams with this writing club such as Chandra who obsess with hiking and
paralayang. Kiki wants to become an expert in writing. Who knows, from these children born some good writers. Amien.
Continue...


Selasa, 26 Oktober 2010

Kopdit Ramah Anak

Posted by contemplative on 00.34 0 komentar

Menjelang akhir tahun 2008, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh peraturan baru yang diluncurkan oleh pemprov DKI Jakarta. Intinya, semua sekolah harus mengawali jam belajarnya pada pukul 06.30. Dalam sekejap mata peraturan ini menjadi kontroversi. Pemprov berasumsi, dengan mempercepat waktu belajar, tentunya anak-anak berangkat lebih pagi dan jumlah kemacetan di kota Jakarta akan berkurang. Sebaliknya, sebagian besar orang tua dan pegiat LSM memprotes, karena itu sama saja dengan mengorbankan anak-anak yang saat ini sudah menanggung beban kurikulum yang berat dan harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mengapa anak yang harus “dikorbankan” untuk uji coba mengatasi satu masalah? Bukankah masalah kemacetan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah ruas jalan?

Boleh dikatakan, bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemprov DKI tersebut potensial berlawanan dengan upaya menciptakan “sekolah ramah anak” dan “lingkungan yang ramah anak”. “Lingkungan yang ramah anak” atau (ide awalnya) “child-friendly city” (kota ramah anak) merupakan gagasan untuk mewadahi sebuah lingkungan yang secara aktif mendukung anak (definisi “anak” adalah mereka yang berusia 0-18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang diadopsi pula dalam UU Perlindungan Anak No. 23/Th. 2002) dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan menyangkut kotanya, mengekspresikan pendapat mereka akan kota yang diinginkan, berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan sosial, menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, akses ke air bersih dan sanitasi yang higienis, terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, rasa aman di jalan, bertemu teman dan bermain, memiliki ruang hijau untuk tanaman dan peliharaan, hidup di lingkungan tanpa polusi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya, menjadi warga kota yang sama kedudukannya dan memiliki akses yang sama terhadap semua pelayanan publik, tanpa memandang asal-usul, agama dan kepercayaan, pendapatan, gender, atau keterbatasan fisik dan mental. Ide ini awalnya digagas oleh UNICEF, badan internasional PBB yang berfokus pada pendidikan dan kesehatan anak.
Gagasan besar kota layak anak telah diusung oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan diinisiasi oleh Meneg PP dengan menjadikan 15 kota/kabupaten di Indonesia sebagai percontohan kota ramah atau layak anak (2006/2007). Gagasan besar ini juga diadopsi dalam arena yang lebih mikro, yakni bidang pendidikan. Dimana-mana telah bertebaran upaya untuk mewujudkan sekolah ramah anak (child-friendly school), dimana didalamnya pendidikan berjalan lebih manusiawi, tidak ada lagi kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah, tidak ada bangunan fisik yang rawan buat anak. Di manca negara, paradigma ramah anak telah merasuk di berbagai sektor. Ini terlihat dengan adanya restoran ramah anak, dokter gigi ramah anak, dan sebagainya. Ternyata ini juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggannya serta meningkatkan kinerja pemasaran mereka.

Lantas, apa hubungannya dengan kopdit?

Merujuk pada rumusan yang menjelaskan istilah “kota ramah anak” di atas, dapat dilihat bahwa anak pun memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, memperoleh dan memiliki akses terhadap semua bentuk pelayanan publik (termasuk keuangan tentunya). Yang perlu direfleksikan, sudahkah pelayanan-pelayanan keuangan (bank dan non bank, termasuk kopdit) mencerminkan sifat ramah anak tersebut?

Menurut hemat penulis, untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 4 faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, sarana pelayanan di kopdit itu sendiri. Apakah seorang anak berusia 6 tahun dengan tinggi sekitar 100 cm bisa dengan nyaman mau menyetorkan tabungan di meja kasir yang tingginya 1,5 kali tinggi badannya? Apakah kopdit memiliki ruang kerja yang bersih, nyaman, dan sehat yang layak bagi anggota yang datang bersama anaknya? Apakah tersedia ruang tunggu atau ruang antrian dimana anak bisa merasa nyaman duduk disana menunggu orang tuanya bertransaksi atau justru menunggu antrian untuk menabung? Apakah tersedia air minum matang atau susu sehat bagi anak yang antri menunggu atau justru snack yang banyak mengandung bahan-bahan kimiawi yang justru tidak layak dikonsumsi anak? Sarana-sarana fisik sederhana inilah yang merupakan tampilan awal untuk melihat nuansa kopdit yang ramah anak. Intinya, sarana yang bisa diakses secara aman, nyaman, dan sehat bagi anak. Silakan bandingkan dengan contoh sederhana yang bisa dilihat pada outlet-outlet cepat saji McDonald atau A&W yang menyediakan wastafel khusus yang bisa dijangkau anak untuk mencuci tangannya sendiri.

Kedua, pelayanan kopdit. Apakah para pengurus dan karyawan kopdit memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak dan kebutuhannya? Sudahkah melayani dengan senyum dan sapa? Sudahkah anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan karyawan kopdit atau justru mereka malas datang ke kopdit? Ini dikembalikan pada semangat pelayanan dari setiap karyawan kopdit. Dalam pembekalan-pembekalan mengenai pemasaran dan pelayanan, perlu juga ditekankan bahwa anak juga merupakan sosok yang dilayani. Hari ini atau mungkin pada masa yang akan datang ketika mereka sudah tumbuh dewasa.

Ketiga, pengembangan program-program yang diakses langsung oleh anak. Adakah program-program khusus anak seperti tabungan yang bisa mereka ikuti. Sejauh mana program tabungan itu menarik buat anak, misalnya dengan membuat buku tabungan yang menarik atau penyediaan bonus permainan edukatif? Program semacam ini juga potensial disatukan dengan paket pembelajaran untuk anak, misalnya tentang pendidikan keuangan dini. Jadi terdapat isu pendidikan selain menabung, misalkan tentang kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, kepemimpinan, kerja sama, pluralitas, demokrasi, dan lain-lain. Ini bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial kopdit (credit union social responsibility) yang masih sejalan dengan kegiatan inti (core business) kopdit dan tentunya masih berada di atas rel prinsip kopdit. Satu contoh positif dapat dilihat dalam bentuk lain. Para anggota sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) di Kupang (NTT) bersepakat untuk tidak mengambil deviden akhir tahun, melainkan menempatkannya sebagai dana beasiswa bagi pendidikan anak-anak mereka.

Faktor keempat yang tak kalah pentingnya ialah partisipasi aktif orang tua (yang sangat mungkin adalah anggota kopdit) untuk mendorong dan melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan kopdit, khususnya menabung. Orang tua dan keluarga merupakan kunci penting dan gerbang pertama dalam pendidikan anak untuk membentuk kesadaran sosial dan finansial mereka. Pondasi untuk membentuk keluarga yang sejahtera bisa dimulai sejak dini. Peran yang bisa dijalankan kopdit ialah memfasilitasi orang tua untuk memperoleh pemahaman dan trik-trik dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak, yang dilakukan secara ceria, nyaman, tanpa paksaan, dan berkelanjutan.

Dengan perkembangan gerakan kopdit yang begitu progresif sekarang, perspektif kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi perhatian. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa anak yang merupakan sosok paling rentan dalam keluarga juga perlu memperoleh perhatian yang sama. Karena, mereka jugalah tunas-tunas masa depan gerakan kopdit. Setuju?



Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok no. 10/Tahun IX/17 Desember 2008-17 Januari 2009

Penulis adalah relawan Sanggar Rebung dan anggota Kopdit Melati-Depok
Continue...


Bakar Ayam untuk Smart & Nature Lover Kids Writing Club

Posted by contemplative on 00.30 0 komentar

“Put, ayo kita musyawarah dulu.”Segera beberapa anak berlari menuju sanggar dan mereka pun langsung serius membicarakan sesuatu. Selidik punya selidik ternyata mereka sedang membicarakan tentang SMART & NATURE LOVER KIDS WRITING CLUB, kelompok menulis yang sudah sejak beberapa bulan lalu berjalan di Sanggar Rebung. Rencananya, mereka akan menyisihkan uang jajan untuk membuat kaos de-ngan logo kelompok menulis yang baru mereka beri nama itu.
Semenjak nama kelompok menulis itu tercipta pada 23 Mei 2010, anak-anak memang terlihat semakin bersemangat. Nama dan logo kelompok menulis itu pun mereka sendiri yang menciptakan. Hanya saja logo sedang diperbaiki.
Bukan hanya soal kaos, anak-anak juga memilih ketua, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara dari SMART & NATURE LOVER KIDS WRITING CLUB ini. Berikut susunannya.
Ketua: Chandra Saputra (3 SD)
Wakil: Rizki Fadilah (5 SD)
Sekretaris: Sri Anjani Pramono (4 SD)
Bendahara: Putri Camelia (4 SD)
Anggota:
1. Iis Nurjanah (3 SD)
2. Putri Aulia Nabita (3 SD)
3. Muhammad Apri (2 SD)
4. Nurul Fadlah (4 SD)
5. Irma (3 SD)
Semakin hari, anak-anak yang tergabung dalam kelompok menulis ini juga semakin kompak. Pada malam, 5 Juni 2010, mereka mengadakan kegiatan bakar ayam di rumah salah satu anak. “Mmm… dalam rangka merayakan klub,” kata Kiki alias Rizki. Dananya, lagi-lagi, dari hasil menyisihkan uang jajan masing-masing anak dan ini adalah inisiatif dari mereka sendiri.
Setiap anak sepertinya punya mimpi dengan kelompok menulis ini. Chandra terobsesi memenangi juara pertama dalam lomba yang diadakan kelompok menulis ini hingga 10 kali. Alasannya, ia ingin diajak ikut serta naik gunung atau paralayang. Kiki lain lagi, anak kelas 5 SD punya mimpi ingin bisa semakin mahir dalam menulis. Mimpi-mimpi yang semoga menjadi kenyataan. Siapa tahu dari anak-anak-anak ini akan muncul penulis-penulis yang mumpuni. Amin.
Continue...