Selasa, 26 Oktober 2010

Kopdit Ramah Anak

Posted by contemplative on 00.34 0 komentar

Menjelang akhir tahun 2008, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh peraturan baru yang diluncurkan oleh pemprov DKI Jakarta. Intinya, semua sekolah harus mengawali jam belajarnya pada pukul 06.30. Dalam sekejap mata peraturan ini menjadi kontroversi. Pemprov berasumsi, dengan mempercepat waktu belajar, tentunya anak-anak berangkat lebih pagi dan jumlah kemacetan di kota Jakarta akan berkurang. Sebaliknya, sebagian besar orang tua dan pegiat LSM memprotes, karena itu sama saja dengan mengorbankan anak-anak yang saat ini sudah menanggung beban kurikulum yang berat dan harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mengapa anak yang harus “dikorbankan” untuk uji coba mengatasi satu masalah? Bukankah masalah kemacetan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah ruas jalan?

Boleh dikatakan, bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemprov DKI tersebut potensial berlawanan dengan upaya menciptakan “sekolah ramah anak” dan “lingkungan yang ramah anak”. “Lingkungan yang ramah anak” atau (ide awalnya) “child-friendly city” (kota ramah anak) merupakan gagasan untuk mewadahi sebuah lingkungan yang secara aktif mendukung anak (definisi “anak” adalah mereka yang berusia 0-18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang diadopsi pula dalam UU Perlindungan Anak No. 23/Th. 2002) dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan menyangkut kotanya, mengekspresikan pendapat mereka akan kota yang diinginkan, berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan sosial, menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, akses ke air bersih dan sanitasi yang higienis, terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, rasa aman di jalan, bertemu teman dan bermain, memiliki ruang hijau untuk tanaman dan peliharaan, hidup di lingkungan tanpa polusi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya, menjadi warga kota yang sama kedudukannya dan memiliki akses yang sama terhadap semua pelayanan publik, tanpa memandang asal-usul, agama dan kepercayaan, pendapatan, gender, atau keterbatasan fisik dan mental. Ide ini awalnya digagas oleh UNICEF, badan internasional PBB yang berfokus pada pendidikan dan kesehatan anak.
Gagasan besar kota layak anak telah diusung oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan diinisiasi oleh Meneg PP dengan menjadikan 15 kota/kabupaten di Indonesia sebagai percontohan kota ramah atau layak anak (2006/2007). Gagasan besar ini juga diadopsi dalam arena yang lebih mikro, yakni bidang pendidikan. Dimana-mana telah bertebaran upaya untuk mewujudkan sekolah ramah anak (child-friendly school), dimana didalamnya pendidikan berjalan lebih manusiawi, tidak ada lagi kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah, tidak ada bangunan fisik yang rawan buat anak. Di manca negara, paradigma ramah anak telah merasuk di berbagai sektor. Ini terlihat dengan adanya restoran ramah anak, dokter gigi ramah anak, dan sebagainya. Ternyata ini juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggannya serta meningkatkan kinerja pemasaran mereka.

Lantas, apa hubungannya dengan kopdit?

Merujuk pada rumusan yang menjelaskan istilah “kota ramah anak” di atas, dapat dilihat bahwa anak pun memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, memperoleh dan memiliki akses terhadap semua bentuk pelayanan publik (termasuk keuangan tentunya). Yang perlu direfleksikan, sudahkah pelayanan-pelayanan keuangan (bank dan non bank, termasuk kopdit) mencerminkan sifat ramah anak tersebut?

Menurut hemat penulis, untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 4 faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, sarana pelayanan di kopdit itu sendiri. Apakah seorang anak berusia 6 tahun dengan tinggi sekitar 100 cm bisa dengan nyaman mau menyetorkan tabungan di meja kasir yang tingginya 1,5 kali tinggi badannya? Apakah kopdit memiliki ruang kerja yang bersih, nyaman, dan sehat yang layak bagi anggota yang datang bersama anaknya? Apakah tersedia ruang tunggu atau ruang antrian dimana anak bisa merasa nyaman duduk disana menunggu orang tuanya bertransaksi atau justru menunggu antrian untuk menabung? Apakah tersedia air minum matang atau susu sehat bagi anak yang antri menunggu atau justru snack yang banyak mengandung bahan-bahan kimiawi yang justru tidak layak dikonsumsi anak? Sarana-sarana fisik sederhana inilah yang merupakan tampilan awal untuk melihat nuansa kopdit yang ramah anak. Intinya, sarana yang bisa diakses secara aman, nyaman, dan sehat bagi anak. Silakan bandingkan dengan contoh sederhana yang bisa dilihat pada outlet-outlet cepat saji McDonald atau A&W yang menyediakan wastafel khusus yang bisa dijangkau anak untuk mencuci tangannya sendiri.

Kedua, pelayanan kopdit. Apakah para pengurus dan karyawan kopdit memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak dan kebutuhannya? Sudahkah melayani dengan senyum dan sapa? Sudahkah anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan karyawan kopdit atau justru mereka malas datang ke kopdit? Ini dikembalikan pada semangat pelayanan dari setiap karyawan kopdit. Dalam pembekalan-pembekalan mengenai pemasaran dan pelayanan, perlu juga ditekankan bahwa anak juga merupakan sosok yang dilayani. Hari ini atau mungkin pada masa yang akan datang ketika mereka sudah tumbuh dewasa.

Ketiga, pengembangan program-program yang diakses langsung oleh anak. Adakah program-program khusus anak seperti tabungan yang bisa mereka ikuti. Sejauh mana program tabungan itu menarik buat anak, misalnya dengan membuat buku tabungan yang menarik atau penyediaan bonus permainan edukatif? Program semacam ini juga potensial disatukan dengan paket pembelajaran untuk anak, misalnya tentang pendidikan keuangan dini. Jadi terdapat isu pendidikan selain menabung, misalkan tentang kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, kepemimpinan, kerja sama, pluralitas, demokrasi, dan lain-lain. Ini bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial kopdit (credit union social responsibility) yang masih sejalan dengan kegiatan inti (core business) kopdit dan tentunya masih berada di atas rel prinsip kopdit. Satu contoh positif dapat dilihat dalam bentuk lain. Para anggota sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) di Kupang (NTT) bersepakat untuk tidak mengambil deviden akhir tahun, melainkan menempatkannya sebagai dana beasiswa bagi pendidikan anak-anak mereka.

Faktor keempat yang tak kalah pentingnya ialah partisipasi aktif orang tua (yang sangat mungkin adalah anggota kopdit) untuk mendorong dan melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan kopdit, khususnya menabung. Orang tua dan keluarga merupakan kunci penting dan gerbang pertama dalam pendidikan anak untuk membentuk kesadaran sosial dan finansial mereka. Pondasi untuk membentuk keluarga yang sejahtera bisa dimulai sejak dini. Peran yang bisa dijalankan kopdit ialah memfasilitasi orang tua untuk memperoleh pemahaman dan trik-trik dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak, yang dilakukan secara ceria, nyaman, tanpa paksaan, dan berkelanjutan.

Dengan perkembangan gerakan kopdit yang begitu progresif sekarang, perspektif kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi perhatian. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa anak yang merupakan sosok paling rentan dalam keluarga juga perlu memperoleh perhatian yang sama. Karena, mereka jugalah tunas-tunas masa depan gerakan kopdit. Setuju?



Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok no. 10/Tahun IX/17 Desember 2008-17 Januari 2009

Penulis adalah relawan Sanggar Rebung dan anggota Kopdit Melati-Depok


0 Responses so far:

Leave a Reply